Perang merupakan hal yang akrab dalam sistem internasional, baik klasik maupun modern, kata perang tidak bisa dihindarkan dari kehidupan politik dan sistem internasional. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi terjadinya perang, Indonesia sebagai negara netral yang tidak memihak negara-negara raksasa blok Barat maupun Timur memiliki strategi tersendiri untuk survive dan menghadapi perang antara dua kubu raksasa yang mungkin juga berdampak bagi Indonesia karena letaknya yang strategis dan kekayaan sumber daya perang tersebut.
Indonesia memiliki strategi perang gerilya yang telah diterapkan dalam melawan penjajah di masa kolonial, strategi ini dianggap berhasil sehingga perang gerilya akan tetap menjadi cara perlawanan rakyat dalam mengantisipasi terjadinya perang di masa-masa mendatang. Posisi strategis Indonesia dipengaruhi oleh faktor-faktor geografis sehingga satu-satunya cara yang sesuai untuk melakukan perlawanan bila terjadi pendudukan adalah cara gerilya (Nasution 1984, 82). Perang gerilya merupakan perlawanan yang befokus pada perang di daratan.
Namun, di sisi lain terdapat tindakan-tindakan anti-gerilya yang harus dilaksanakan. Rakyat semakin menggantungkan kepercayaan kepada gerilya dan perjuangan yang mereka pelopori daripada kepada pemerintah dan cita-cita yang tengah dikejar. Perang anti-gerilya harus melawan gerilya dengan senjata-senjatanya sendiri, yaitu agresivitas, mobilitas, dan fleksibilitas. Perang gerilya Indonesia baru pada tahap defensif, yakni menghindar daripada menghancurkan musuh dan belum bisa melakukan taktik menghancurkan musuh bagian demi bagian (Nasution 1984, 85-88). Untuk sepuluh tahun yang akan datang, Indonesia masih harus fokus pada perang gerilya dan perang anti-gerilya pula. Selain itu, kendala yang dihadapi Indonesia adalah tugas-tugas ketentaraan yang perlu efisiensi dalam pembagian tugas dalam organisasi dan pimpinan. Hal itu bisa diselesaikan dengan keberadaan TNI warisan Perang Kemerdekaan 1945-1949 serta pembangunan angkatan perang modern.
Untuk mengantisipasi perang gerilya yang akan datang, Indonesia membentuk organisasi dan pendidikan perang, yaitu tiga lapisan pertahanan; perlawanan tentara, perlawanan partisan (gerilya rakyat) dan pertahanan rakyat (sipil). Tentara yang dibangun merupakan “tentara infanteri” menurut wilayah-wilayah (Nasution 1984, 95-96). Pembentukan organisasi-organisasi tersebut telah ada sejak zaman kolonial dimana pada fase pertama revolusi nasional tiap-tiap daerah membentuk TKR sebagai tentara gerilya. Selain itu, perlu dibentuk Pager Desa serta wajib militer.
Sementara itu, perang anti-gerilya sekarang ini mempunyai sifat-sifat kedaerahan yang harus diperhatikan oleh kebijakan politik-psikologis dan sosial-ekonomis, sehingga perlu sebuah sistem desentralisasi pimpinan kepada daerah-daerah. Corak ketentaraan Indonesia di masa yang akan datang adalah selaku perang ideologi rakyat, yakni adanya arti penting rakyat semesta, sehingga bukan tentara lagi yang berperang melainkan rakyatlah yang berperang dengan tujuan untuk membela kepentingan hidupnya. Perang anti-gerilya merupakan perang antara hidup dan mati Republik Indonesia yang telah diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945 (Nasution 1984, 117).
Clausewitz, salah satu strategist perang, menuliskan tentang perang rakyat di dalam bukunya. Ia tidak mengupas sudut politik dan sudut revolusioner dari masalah perang rakyat itu secara luas, melainkan dititikberatkan pada sudut militer. Clausewitz menyatakan bahwa perang rakyat dalam arti strategi bersifat mempertahankan atau defensif, meskipun perang itu juga menjalankan taktik menyerang atau ofensif. Salah satu implementasi dari perang rakyat yang diuraikan Clausewitz adalah perlawanan rakyat Indonesia dari berbagai daerah terhadap kekuasaan Belanda dengan mengangkat senjata dengan tidak mempunyai suatu tentara yang teratur sebagai tulang punggung perlawanan. Namun, perang rakyat adalah senjata si lemah. Oleh sebab itu dalam persiapan untuk menghadapi kemungkinan terjadinya perang rakyat adalah dengan mengejar ketertinggalan dalam lapangan ilmu pengetahuan, teknik, perindustrian, dan kecerdasan rakyatnya (Nasution 1984, 259-264).
Dalam tulisan Mayjen Simatupang (1981) disebutkan bahwa ada dua hal penting dalam kehidupan suatu negara. Kekuatan dan kekuasaan memiliki banyak unsur, antara lain militer dan angkatan perang, baik kekuatan darat, laut, maupun udara. Namun, di antara faktor-faktor geolpolitik, yang terpenting adalah susunan politik dan susunan sosial dalam negara. Susunan-susunan tersebut merupakan faktor yang menentukan apakah faktor-faktor yang lain, yakni letak, luas, dan bentuk Indonesia dapat dipergunakan untuk membangun suatu negara yang kuat atau tidak (Simatupang 1981, 236-237). Ada hubungan yang erat antara geografi, strategi, dan politik. Segala kekuatan dan kekuasaan tak lain dibentuk hanyalah untuk menyelamatkan kemerdekaan Indonesia di tengah pergolakan dunia ini.
0 Response to "Strategi Pertahanan Pemerintahan Indonesia"
Posting Komentar